Jumat, 05 November 2010

PENEMUAN TERBARU DALAM DUNIA PERIKANAN






Coelacanth yang disangka ikan kerapu itu ternyata “fosil hidup”. Tampangnya yang sangar serta bentuknya yang tidak biasa membuatnya dikenal sebagai si Raja Laut. Tapi inilah nenek moyang ikan. Manusia boleh iri, sebab untuk melihat tampang Pithecanthropus erectus, manusia purba dari Sangiran, kita hanya bisa mereka-reka
“The most beautiful fish I had ever seen ….” Ini ungkapan Marjorie Courtenay-Latimer, kurator sebuah museum kecil di dekat Cape Town, Afrika Selatan, tentang ikan yang ditangkap oleh Kapten Hendrick Goosen di Laut India, tak jauh dari mulut Sungai Chalumna pada 23 Desember 1938. Bagi orang awam, pujian itu bikin bingung. Bagaimana ikan yang bertampang sangar dan terkesan buas itu dibilang ikan paling cantik?
“Panjangnya lima kaki (sekitar 1,5 m - Red) dan warnanya biru lembayung agak pucat dengan ciri-ciri perak warna-warni,” tulis Marjorie tentang sosok ikan yang baru dilihatnya itu. Berhubung bukan ikan biasa, ia membawanya ke museumnya. Tapi sebelumnya ia sempat bersitegang dengan sopir taksi yang keberatan membawa muatan ikan sepanjang itu dan berbau lagi.Setelah membuka-buka buku referensi, ia sempat ragu-ragu dengan kesimpulan yang dibuatnya. Spesimen yang ada di depannya itu ada kesamaan dengan ikan purba, khususnya struktur kepala dan ekornya yang berlobi tiga. Ia lalu menceritakan temuannya itu kepada Prof. J.L.B. Smith, penggemar ikan dan pengajar ilmu kimia di Universitas Rhodes.
Benar dugaan Marjorie. Smith mengenali ikan itu sebagai coelacanth (dari bahasa Yunani, artinya duri berlubang). Ikan ini kemudian dikenal dengan “penemuan terpenting abad ini di bidang zoologi” mengingat ia adalah nenek moyang semua ikan modern. Tak disangkal lagi, penemuan spesimen hidup suatu spesies akan memberikan banyak informasi dibandingkan fosilnya, seperti informasi dari material genetis maupun tingkah lakunya.Sebagai ikan purba, ia sudah muncul di muka bumi pada masa Devonian Tengah, 360 juta tahun lalu. Jika orang terbelalak seandainya melihat dinosaurus masih hidup hingga saat ini, entah bagaimana reaksi mereka kalau tahu bahwa dinosaurus baru muncul pada era Jurassic, 150 juta tahun lalu. Ikan ini juga diperkirakan punah sejak 70 juta tahun lalu, bersamaan dengan punahnya dinosaurus.
Setelah diidentifikasi, ikan itu lalu diberi nama Latimeria chalumnae Smith.

Disangka ikan kerapuIkan yang sama baru-baru ini membuat geger jagad perikanan Indonesia, bahkan dunia. Ia ditemukan Lameh Somatham, seorang nelayan, pada 30 Juli 1998 di perairan Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara, yang berjarak 10.000 km dari Pulau Komoro. Bagi masyarakat sekitar, ikan yang mereka juluki si Raja Laut itu bukanlah ikan yang istimewa.
“Nelayan-nelayan di Sulawesi selama ini malah menjual jenis ikan ini di pasar karena menganggapnya sebagai ikan biasa. Cuma, masyarakat di sana memang kurang menyukai karena lemaknya banyak,” ujar Mohamad Karim Moosa, peneliti senior bidang biologi kelautan di LIPI kepada Majalah D&R. Hal itu juga dibenarkan oleh Ike Rachmatika, M.Sc. dari Puslitbang Biologi, LIPI, Cibinong.
Bagi mereka, mendapatkan ikan coelacanth di jaringnya bukanlah keberuntungan. Apalagi harganya tak begitu tinggi, paling-paling Rp 30.000,-. Itu pun karena pembelinya mengira sebagai ikan kerapu. Sialnya, ikan itu bikin diare kalau dimakan. “Ikan ini memang mengandung banyak lemak,” kata Drs. Agus H. Tjakrawidjaja dari Puslitbang Biologi LIPI, Cibinong. Kalau tidak laku, ikan itu dibiarkan membusuk.
Sirip berlobi yang khas dan lobus sekunder. (atas dan bawah). Yang ini ditemukan di perairan Pulau Manado Tua. (tengah)(Foto-foto: Ibas)
Adalah Dr. Mark V. Erdmann, ahli terumbu karang Universitas Kalifornia, yang membuat nilai ikan itu kini berarti. Ikan yang ditemukan Lameh sudah ditawar oleh orang Jepang dengan harga ribuan dolar Amerika. Tapi lebih dari itu, bagi ilmu pengetahuan nilainya tak tergantikan oleh uang.
Sebenarnya, sudah lama Mark curiga, tepatnya sewaktu ia berbulan madu bersama istrinya Arnaz, September 1997. Mereka menjumpai ikan itu di Pasar Ikan Bersehati dalam keadaan sudah terpotong-potong. Mereka kemudian memotretnya sebelum dibeli orang. Ia sempat berdiskusi dengan seniornya di Amerika sebelum akhirnya kembali lagi ke Manado untuk menelusuri penemuan tak sengaja itu.
Coelacanth sebelumnya pernah juga ditemukan di perairan Afrika Selatan, Mozambik, dan Madagaskar yang dianggap sebagai pecahan populasi ikan Latimeria chalumnae yang ditangkap di Komoro. Sejak 1952, sudah sekitar 200 ekor ditangkap di perairan Kepulauan Komoro.
Tak aneh kalau kemudian Mark penasaran. Ia pun menanyai beberapa nelayan di Sulawesi Utara. Dari 200-an nelayan yang ia interogerasi selama 10 bulan Mark berkesimpulan, hanya empat nelayan yang pernah menangkap ikan jenis ini. Dua nelayan menyebutnya sebagai ikan cede, yang mereka tangkap dengan pancing laut dalam. Dua lainnya yang menggunakan pukat penangkap hiu dalam menamakannya ikan raja laut.
Pada Maret 1998, dua nelayan pertama mengantarkan ikan cede yang berhasil ditangkapnya. Ternyata ikan itu dari jenis oil fish (Ruvettus pretiosus), bukan coelacanth. “Oil fish juga banyak ditemukan di Komoro dan termasuk ikan laut dalam,” ujar Mark.
Observasi yang dilakukan bersama LIPI itu akhirnya membuahkan hasil. Ikan dari marga Sarcopterygian itu nyantol di jaring penangkap hiu laut dalam milik Lameh. Penemuan ikan seberat 29 kg, panjang 1,24 m, dan berjenis kelamin betina (sedang bertelur) itu dipublikasikan pada peringatan Tahun Bahari Internasional di Manado, September 1998.
Hewan berkaki?Penemuan di Manado itu menambah perbendaharaan spesimen coelacanth. Selain itu, kondisinya yang fresh waktu ditangkap menempatkannya sebagai spesimen terbaik dari yang pernah ada. Bahkan Mark menyebutnya sebagai paling bagus di dunia. “(Spesimen) lainnya sudah membusuk,” kata Agus.
Ikan coelacanth merupakan satu-satunya jenis ikan yang masih hidup dari ordo Coelacanthiformes. Sosok ikan ini sendiri sangat unik. Salah satu yang khas adalah sirip yang berlobi tujuh. Selain itu, sirip dada dan sirip perut ditopang oleh lingkaran berbentuk cincin yang mirip lingkaran dada dan perut pada binatang darat. Kedua sirip itu bergerak bergantian mirip derap langkah kuda yang berjalan perlahan-lahan. Ekornya juga memiliki lobus sekunder di ujung ekor (epicaudal). Ciri morfologi lain yang membedakan dengan ikan modern adalah sendi interkranial dan notokord punggung yang berisi minyak dan tidak seperti pada tulang punggung ikan pada umumnya.
Smith dalam bukunya menyebut spesies ini dengan “old four legs“. Apakah ini berarti ada hubungannya dengan hewan berkaki empat? Soal kedekatan ini, Ike menjelaskan bahwa sampai saat ini ada beberapa hipotesis. “Ada yang bilang coelacanth lebih dekat ke ikan berparu, lungfish. Sementara yang lain mengatakan, lebih dekat ke binatang berkaki empat seperti amfibi.” Sedang Moosa menegaskan, “Walaupun bentuknya seperti kaki, itu tetap sirip.”
Namun, Moosa membenarkan bahwa sirip itu memperlihatkan sifat-sifat kaki. Evolusi yang berlangsung berjuta tahun bisa mengubahnya menjadi kaki. Ini terjadi pada katak, yang ternyata cucu cicit kesekian dari coelacanth. Juga ikan paru-paru yang ditemukan di Australia. Dalam garis evolusi lain, coelacanth berubah menjadi ikan modern saat ini, dari yang dijual di pinggir jalan sampai yang dikabarkan membawa hoki bagi pemiliknya. Bisa dikatakan, inilah nenek moyangnya bangsa ikan.
Maka menjadi pertanyaan penting, bagaimana kiat coelacanth bertahan menghadapi terpaan ruang dan waktu yang begitu panjang. Tak mudah memang untuk menguraikannya sebab ia tidak bisa berbicara. Bisa jadi ia juga tidak ambil pusing dengan hal itu. Yang jelas bukan karena ia bergelar “Raja Laut”.
Moosa hanya bisa memberi jawaban bahwa spesies ini bisa beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya. Namun, menurut Ike, banyak hal yang membuat ikan purba ini betah hidup. “Habitat ikan ini adalah gua sehingga relatif terlindung dari ancaman.” Kemudian ia bisa menghemat energi. “Ikan ini memang termasuk ikan malas. Kalau mencari mangsa, ia hanya ikut arus,” tambah Agus.
Cukup menarik untuk dicermati adalah faktor lingkungannya yakni di lingkungan tropis. “Lihat saja, komodo maupun badak ujungkulon. Iklim tropis memang memberikan perubahan cuaca yang tidak drastis. Banyak kerabat coelacanth yang tinggal di daerah iklim lainnya sudah punah,” papar Ike. Dari hasil studi coelecanth memang senang di air yang adem-adem anget, 16 - 23oC.
Kaum kanibalPertanyaan baru muncul. Apakah di tempat lain juga masih ada, mengingat sebelumnya penemuan coelacanth hanya terfokus di sekitar Komoro dan perairan Afrika Timur? Perairan sekitar Pulau Manado Tua sudah menjawabnya. Apakah itu jenis baru? Masih harus dicari spesimen lainnya, sebab jika mengandalkan satu spesimen takutnya, “Itu anomali,” kata Agus.
Dari segi ekologi perairan, menurut Moosa, sebenarnya banyak kawasan laut dalam di Indonesia yang sesuai bagi tumbuh kembangnya populasi coelacanth. Selain bergua dengan kedalaman berkisar 180 - 220 m di bawah permukaan laut, mereka senang daerah vulkanik. Bukankah itu banyak di Indonesia? Seperti di sekitar Pulau Komoro atau di perairan yang lautnya cukup dalam serta memiliki lereng larva dan gua vulkanik.Mark juga memperkirakan hal yang sama. Ia menyebut perairan sekitar Banda dan Krakatau sebagai habitat coelacanth. Lebih lanjut, berdasarkan jumlahnya yang tertangkap dua sampai tiga ekor dalam setahun, diperkirakan populasinya di perairan Pulau Manado Tua berkisar pada angka 100 - 200 ekor.
Reproduksi ikan ini adalah ovovivipar, bertelur tapi beranak. Ini lantaran coelacanth tidak mampu memproduksi cangkang telur dan menyimpan urea untuk osmoregulasi. Tugas penghasil telur adalah coelacanth betina. Telur berwarna jingga, diameternya bisa mencapai 9 cm dengan berat 334 g, dan hanya dilindungi oleh membran tipis itu tidak rela dikeluarkan dari tubuhnya sehingga disimpannya dalam uterus. Setiap embrio memiliki kantung kuning telur yang besar, mengindikasikan bahwa anakan tergantung pada pasokan kuning telur.
Setelah menjadi jabang bayi, barulah si betina berani melepaskan sang anak melihat indahnya kehidupan dunia luar. Si betina berharap suaminya mau mengasuhnya. Tapi si suami malah pura-pura tak tahu kalau ia sudah jadi bapak. Sedangkan ibunya merasa sudah selesai tugasnya sebagai simpul dalam mata rantai reproduksi. Beralasan sih betina cuek dengan si jabang bayi. Soalnya, ia harus mengerami selama 13 bulan. Alhasil, bayi coelacanth menjadi yatim piatu.
Melihat kenyataan itu, betina coelacanth melakukan KB swakarsa, meniru siskamling swakarsa yang marak akhir-akhir ini akibat adanya isu “ninja”. Dari sekitar 20-an embrio yang jadi, ia hanya berani mengeluarkan paling banyak lima jagoan saja. Yang lainnya mati di dalam perut emaknya. Lebih baik sedikit tapi bisa survive. Apalagi kalau nanti ada krisis pangan, ‘kan tidak repot berebut sembako. Atau, jangan sampai terserang busung lapar kalau kebanyakan anak. “Moga-moga jangan, deh,” begitu pikir betina yang badannya lebih besar dari jantannya.
Fosil hidup ini termasuk anggota karnivora, yang bahkan tega memakan bangsa sendiri, alias kanibal. Jadi, dengan “beranak” sedikit, setidaknya mengurangi pertumpahan darah. Selain kawan sendiri, ancaman lain datang dari ikan hiu laut dalam. GPC (gerombolan pemusnah coelacanth) lainnya adalah jaring, entah itu trawl, pancing tangan, atau jaring hiu laut dalam.
Meski karnivora, ikan yang dikhawatirkan mulai punah ini termasuk binatang pemilih juga. Tidak dijelaskan apa yang disukainya, tetapi beberapa umpan yang digunakan sanggup membawa si malas ini ke mata kail.
Walau badannya besar dan seram, ternyata si Raja Laut ini beraninya cuma pada hewan-hewan kecil bangsa zooplankton. Itu pun kalau sudah malam hari. Padahal mulutnya memiliki engsel sehingga rahang bagian atas bisa dibuka selebar-lebarnya untuk memangsa binatang yang jauh lebih besar dari tubuhnya. Lalu ia diolok-olok, gede tubuhnya, tapi ciut nyalinya.
Spesies baruDalam kesehariannya, coelacanth hidup berkelompok. Satu kompi jumlahnya sekitar 14 ekor. Siang hari mereka ngendon di gua. Entah ngerumpi atau BBS (bobok-bobok siang). Tapi kalau mencari sesuap plankton mereka egois, sorangan wae. Dugaan ini berasal dari jarangnya nelayan mendapat bonus berupa si Raja Laut dalam jumlah banyak.
Dengan kehidupan yang irit energi itu, daur hidup coelacanth bisa lama, sampai 22 tahun. Karena kurang bergerak, yang dewasa bisa mencapai 100 kg beratnya dan 2 m panjangnya.
Selain malas, meski gerakannya cepat, coelacanth mudah bosan dengan guanya. Meski tidak jauh-jauh pindahnya, sehingga tidak perlu membikin paspor, mereka sering mencari gua baru atau oper kontrak dengan kelompok lain. Inilah sebabnya, spesies yang ditemukan di Manado bisa jadi jenis baru.
Faktor lainnya adalah jarak yang terpisah jauh antara Komoro dan Manado, tidak adanya interaksi antarperairan itu, dan ada perbedaan secara morfologi. Karena itu Agus menyebut coelacanth yang ditemukan di Manado sebagai Latimeria cf chalumnae Smith. “Cf itu artinya masih kemungkinan. Soalnya, yang kita temukan baru satu. Saat ini kita sedang menguji DNA-nya,” kata Agus.
Dilarang diperdagangkanTerlepas dari soal nama, seperti penemuan makhluk langka lainnya, penemuan ini membawa dua sisi yang berlawanan. Bagi ilmu pengetahuan, penemuan ikan ini - yang diistilahkan oleh Agus sebagai eureka - akan membantu menyingkap sejumlah pertanyaan, seperti hubungannya dengan nenek moyang vertebrata.
Sementara di sisi lain, penemuan itu sendiri akan menjadi alat pemusnah kelangsungan hidupnya. Secara tidak langsung, para peneliti telah turut ambil bagian dalam “pembantaian” raja laut. Nelayan mana yang tak tergiur, ketika sadar harga ikan yang dulu hanya Rp 30.000,-, oleh peneliti dihargai Rp 1.000.000,-, kontan!
Mark juga mengungkapkan, ada sekelompok orang Jepang, entah turis atau ilmuwan, datang ke Manado Tua menanyakan informasi rinci dari para nelayan tentang bagaimana dan di mana mereka menangkap coelacanth. Mereka menawarkan hadiah besar jika ada yang berhasil menangkapnya.
Selain itu, dilaporkan seorang turis dari Jerman di Manado menawarkan uang Rp 2 juta bagi mereka yang bisa menangkap ikan itu. Seorang ahli neurobiologi menanyai semua pemandu selam di seluruh Manado soal kemungkinan perahu (boat) yang bisa digunakan untuk ekspedisi penyelaman. Entah akan ada berapa orang lagi yang memburu ikan langka ini. Terlebih mengingat populasinya di perairan Komoro dan Afrika Timur sudah menipis. Wajar kalau moncong perburuan sekarang mengarah ke Sulawesi Utara.
Mengingat posisinya yang strategis, layak kalau sejalan dengan penelitian, dilakukan pula usaha konservasi. LIPI pun tanggap dengan menggelar seminar yang agenda utamanya adalah upaya-upaya penyelamatan. Apalagi coelacanth termasuk binatang yang lambat berkembang. Dilaporkan, tahun 1989 populasi di Komoro sekitar 650 ekor. Enam tahun kemudian menyusut menjadi setengahnya. Saat ini diperkirakan malah tinggal 200 ekor.
Populasinya yang endemik, kecil-kecil, serta posisinya sebagai “fosil hidup” membuatnya masuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Semua satwa dan tumbuhan yang masuk dalam daftar ini tidak boleh diperdagangkan.Masalahnya, dalam situasi sekarang ini, siapa yang bisa menjamin peraturan mampu membungkam tuntutan perut? Munculnya ilegal market, seperti yang terjadi di Komoro, tinggal menunggu waktu.
 
 
Sumber:
 
http://khairimizwar5146142.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar